CONTOH CERITA PENDEK BAGUS BANGET
Tak Berpangkat
Malam ini terpaksa
aku menepi dari tidur malam yang sudah ku perkirakan bakal ada mimpi indah.
Sayang, mataku masih tak bisa lepas dari grafik yang membingungkan di depan
layar laptop jadulku, sedangkan telingaku masih saja berkenan mendengarkan lalu
lintas suara para ekonom berdebat mengenai kondisi ekonomi yang sedang sekarat. Tanganku tak mau kalah, dengan
kekuatan baja mereka sudi berteman dengan keyboard lapotopku yang beberapa tombolnya tidak dapat di fungsikan.
Alhasil harus bekerja dua kali untuk salin tempel huruf. Ntah berapa lama aku
berkutat dalam kesibukan ini. Yang aku ingat, aku belum selesai menuntaskan
pekerjaanku.
Ditengah kesibukan, ku coba mengintip
jam dinding yang terpasang persis di depanku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul
02.30. Tapi, belum ada tanda-tanda pekerjaanku segera berakhir. Ku capai
handphone yang terletak tidak jauh dai tempat duduku. Ku lihat layar, banyak
pesan masuk, salah satunya dari ibuku.
“Nadine,
jangan lupa shalat. Jangan lupa makan. Jangan begadang ya nak. Jaga kesehatannya.”
Ingin sekali membalasnya dengan pesan “Maaf bu, Nadine tidak bisa. Hari ini Nadine
terpaksa lembur sampai pagi lagi” Tapi aku harus berbohong agar tak
menimbulkan perasaan khawatir. Ntah sudah ke berapa kalinya terpaksa aku harus
berbohong dengan ibuku.
***
Seperti biasa, pagi ini aku berangkat ke
kampus menggunakan busway. Hari ini aku berangkat lebih awal bukan karena ada
kuliah tambahan, melainkan harus bertemu dengan kawan-kawan untuk menyiapkan
teknik lapangan untuk aksi nanti siang.
Sampai di kampus aku langsung buru-buru
menuju gelanggang olahraga untuk menemui teman-teman yang sudah memulai
berdiskusi.
“Selamat pagi teman-teman. Mohon maaf
aku telat” Ucapku meminta maaf kepada teman-teman yang terlebih dulu sudah
sampai dan melakukan diskusi.
“Tumben telatnya lama banget?” Tanya kak
Julain, koordinator lapangan acara ini.
“Hm iya kak. Soalnya tadi ada insiden
kecil di dalam busway, jadi terpaksa harus delay”
“Insiden? Emang ada apa?” Tanya kak
Julian kembali kepadaku.
“Tadi pagi, busway yang aku tumpangin
padet banget. Beberapa saat setelah busway melaju tiba-tiba ada teriakan
perempuan minta tolong setengah ketakutan. Seketika orang-orang mendekat untuk
menanyakan apa yang terjadi. Ia pun berkata bahwa laki-laki yang duduk
disampingnya sudah melecehkannya.” Ujarku mencoba menjelaskan.
“Terus gimana? Apakah laki-lakinya di
proses hukum? Ini kan termasuk pelecehan sekual?” Tanya Adina, aktivis kampus
yang juga merupakan pegiat solidaritas perempuan.
“Tidak. Laki-laki itu hampir saja di
hakimi penumpang busway karna nggak mau mengakui perbuatannya. Sampai akhirnya
dia di paksa turun dari busway.”
“Terus perempuan yang di lecehkan
gimana?” Tanya kak Julian
“Pastinya dia shock lah. Beberapa
penumpang, termasuk aku mencoba untuk menenangkan, termasuk merekomendasikan
agar di proses hukum. Termasuk merekomendasikan untuk datang ke profesional
untuk memulihkan keadaan psikisnya karna dia terlihat ssangat ketakutan dan
terus menangis.”
“Ini nggak bisa dibiarkan kawan. Diskrminasi
gender masih menghantui negeri ini. Kita tidak boleh diam melihat masalah
seperti ini terus berkeliaran. Advokasi isu ini sampai perlindungan perempuan
terealisasi kawan, tapi sekarang kita kembali ke diskusi awal.” Ujar kak Julian
yang meminta agar pembicaraan kembali ke diskusi mengenai teknik lapangan untuk
aksi nanti siang.
***
Satu persatu masa aksi memadati bunderan
di dekat kampus untuk mengikuti aksi siang ini. Berbagai macam spanduk mulai di
lentangkan di sudut-sudut jalan bunderan. Laki-laki, perempuan, muda, tua semua
berkumpul membentuk satu barikade untuk menyampaikan aspirasi. Yel-yel dan
jargon aksi mulai santer terdengar. Tak
lupa, tuntutan aksi juga mulai di dengungkan meskipun aksi belum resmi dimulai.
Terlihat beberapa kali masa aksi perempuan memegang alih keamanan aksi. Tak
jarang mereka berada di barisan terdepan, seolah tak punya rasa takut akan
adanya kerusuhan dan ancaman represifitas aparat keamanan.
Isu ekonomi memang sedang menempati
trending utama dan paling banyak di perbincangkan oleh hampir seluruh elemen
masyarakat. Berita demonstrasi secara besar-besaran yang dilakukan serentak
secara masif tak kala menghebohkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran beberapa
orang tua yang takut anaknya ikut turun aksi. Termasuk ibuku yang tiba-tiba
memanggilku melalui panggilan suara keitika briefing.
“Assalaamualaikum bu”
“Waalaikumsalam nak. Kok rame? Nadine
ikut demo?” Tanya ibu di sebrang.
“I..i..iya bu” Jawabku lirih sedikit
ketakutan. Khawatir ibu memarahiku karna aku ikut demo tanpa seizin baliau.
Karna kalau aku izin, sudah dapat dipastikan ibuku nggak bakal memberi izin.
“Astaghfirullah Nadine. Demo itu bahaya,
apalagi kamu perempuan. Coba bayangin kalau nanti ada rusuh, apa bisa kamu
melindungi diri? Belum lagi nanti kalau ada salah paham bisa berurusan dengan
polisi. Ingat nak, ayah sudah tiada. Ibu membesarkan adik dan kamu seorang
diri. Kalau nanti terjadi yang enggak-enggak sama kamu, ibu sendiri yang bakal
berjuang, tanpa ayah, tanpa kamu, tanpa adik yang masih belia.” Ujar ibu yang
mulai khawatir dengan keadaanku, karena beberapa kanal televisi tengah
memberitakan beberapa aksi di daerah lain yang di mulai dari pagi tadi berakhir
rusuh.
“Sebelumnya Nadine minta maaf tidak izin
ke ibu terlebih dahulu. Ibu tenang saja, Nadine pasti baik-baik saja. Disini
Nadine tidak sendiri bu, banyak teman-teman yang bisa membantu dan menjaga. Ibu
tidak usah khawatir, semuanya baik-baik saja.” Ujarku mencoba untuk meyakinkan
ibu.
“Tapi nak, demo adalah kegiatan yang
lumrah dilakukan laki-laki. Kenapa kamu ikut? Lagi pula kamu tau apa yang di
demokan? Tau masalahnya apa? Kamu aja kuliahnya ambil pendidikan, ini malah
ngomongin politik.”
Ibu mencoba untuk berargumen sebaik
mungkin agar aku mengamini apa yang di inginkan. Sayangnya aku tidak termakan
omongan ibu, bukan bermaksud membantah, tapi aku sudah biasa melakukan aksi
ini. Sudah terbiasa mengahdapi situasi mencekam ketika demo harus berakhir
ricuh. Perih dan sulitnya bernapas ketuika berondongan gas air mata di tujukan
kepada pendemo sudah sering aku alami. Bahkan yang lebih parah, aku hampir saja
pingsan ketika tubuhku yang lemah menahan kepulan asap tertabrak pendemo lain
yang mencoba untuk menyelamatkan diri ketika ricuh berlangsung. Tapi semua itu tak lantas membuatku berhenti
bergerak, justru karena itulah aku semakin lantang bersuara. Meminggirkan
identitasku sebentar yang biasa dianggap lemah.
“Nadine!! Ayo ambil tempat!!! Panggil
kak Juliah dari jauh. Menginstruksikan agar segera merapat dengan yang lain dan
memulai aksi.
“Baik kak.” Jawabku berteriak
“Siapa saja punya hak untuk berbicara
politik bu, tidak melulu yang bertitel atau berkecipung di dunia politik. Jadi,
ibu jangan menafikkan orientasi pendidikan sebagai determinasi. Tapi, mohon
maaf bu, Nadine harus segera berkumpul dengan teman-teman dan mau memulai aksi.
Ibu nggak perlu khawatir ya, Nadine baik-baik saja kok. Minta doanya ya bu
semoga semuanya dilancarkan, dan aksi kami mendapatkan hasil yang baik.
Assalaamualikum”
Tuttttt tuttttttt tuttttttt
Aku memutuskan sambungan telepon tanpa
menunggu jawaban salam dari ibu, karna koordinator aksi sudah mengeraskan suara
di toa, yang itu berarti bahwa aksi dimulai. Aku berlari membelah lautan
manusia yang ada di depanku. Setelah bersusah payah menerobos, akhirnya aku
berada baris terdepan.
Satu per satu orator menyampaikan
orasinya. Sedangkan yang lain menyanyikan yel-yel perjuangan dan sesekali
meneriakkan aspirasi. Diantara lautan demonstran terdapat jurnalis yang juga
stand by mengambil gambar serta menggali informasi. Ada juga jurnalis yang
mengadakan siaran langsung ketika demo berlangsung. Semua pada menyibukkan diri
masing-masing, termasuk aku yang berusaha menepi ketika demo sudah mulai tidak
kondusif lagi. Ketika berlari mencari tempat yang aman, tak sengaja aku melihat
ada seorang perempuan terhuyung ke aspal ketika hendak bersiap memngambil
gambar di kerumunan masa yang sedang ricuh. Dia tumbang, tapi tak seorangpun
membantunya. Akhirnya aku mencoba untuk
masuk kembali ke tengah kerumunan. Tanpa
pikir panjang, aku membopong dia untuk keluar dari kerumunan dan mencari
tempat yang lebih aman.
“Terima kasih sudah membantu saya” Ucap
perempuan yang aku tolong di kerumunan tadi. Perempuan yang bernama Karina
Suryaningrum itu merupakan jurnalis di salah satu media masa. Umurnya tidak
lagi bisa dikatakan muda, sudah berkepala empat. Aku tau identitasnya setelah
tak sengaja membaca ID card yang ia pakai ketika membantu membopongnya.
“Sama-sama. Oh iya, mbak berani banget
ambil pekerjaan bahaya kayak gini?” Tanyaku penasaran.
“Hehe nggak kok. Ini sudah jadi
kewajiban saya sebagai seorang jurnalis, mau nggak mau, suka nggak suka ya
memang seperti itu pekerjaan saya. Resikonya memang besar, kayak barusan yang
kamu lihat.” Ujar perempuan itu sembari mengotak-atik kameranya yang ikut
terjatuh ketika ia terhuyung ke aspal.
“Yang kamu lihat barusan belum seberapa,
saya pernah keseret banjir ketika sedang meliput di tempat kejadian yang baru
saja di terjang banjir bandang. Ketika tengah menggali informasi, tiba-tiba air
rob datang dengan cepat sekali. Saya kira bukan hanya saya yang tidak siap
menyelematkan diri, juga orang-orang yang waktu itu ada di tempat yang sama
dengan saya. Untungnya saya masih bisa diselamatkan meskipun sempat hilang
beberapa jam dan harus menjalani operasi karena beberapa tulang iga saya putus
akibat benturan keras yang saya terima.” Perempuan itu lanjut menceritakan
pengalaman pedihnya selama menjadi jurnalis.
“Luar biasa sekali. Memang mbak tidak
trauma dengan kejadian itu? Tanyaku yang masih penasaran dengan semangat dan
keberanian yang dimiliki oleh perempuan ini.
“Sebelum saya menjawab, saya mau
bertanya sama kamu. Mungkin kamu nggak sadar beberapa kali saya memotret kamu
ketika mengikuti beberapa aksi. Kamu selalu berada di barisan terdepan, yang
menurut orang itu adalah barisan yang paling krusial. Nah contohnya kayak
sekarang nih, barisan terdepan paling terdampak, udah gitu lumayan susah juga
cari tempat aman. Saya juga pernah memotret kamu sedang berorasi. Nah
pertanyaan saya, kenapa kamu berani ada di posisi itu? Mungkin buat sebagian
orang apa yang kamu lakukan adalah sesuatu yang cukup bahaya, dan umumnya
dilakukan oleh laki-laki. Tapi kenapa kamu melakukan?” Tanya perempuan yang
ternyata diam-diam suka mengambil gambarku ketika aksi. Itu yang berarti
perempuan ini cukup berpengalaman meliput aksi demonstrasi.
“Hmmm gimana ya mbak, sebenarnya bukan
hanya mbak yang bertanya itu kepada saya. Sering kali saya mendapat pertanyaan
itu, tapi sampai sekarang saya belum bisa menemukan jwaban yang tepat. Yang ada
dipikiran saya hanya bagaimana caranya agar saya bisa bermanfaat bagi orang
lain sekaligus membuktikan bahwa sebagai perempuan saya juga berhak memiliki
kesempatan yang sama atas apa yang dilakukan oleh laki-laki. Yah ini hanya
contoh saja mbak.” Jawabku dengan menerka-nerka langit yang mulai gelap.
“Nah, jawaban saya sudah kamu jawab.”
Pungkas perempuan itu dengan nada tinggi.
“Mohon maaf, pastinya mbak punya suami
dan anak, bukan?”
“Heem” Jawab perempuan itu mengangguk.
“Terus bagaimana dengan mereka. Apa mbak
nggak kewalahan mengurus pekerjaan yang berat ini dengan urusan keluarga?
Apalagi mbak sering ke luar kota.”
“Kalau kamu mau tau perjuangan saya bisa
sampai disini, lumayan berat karna dulu sempat dapat penolokan dari suami dan
orang tua. Benar, salah satunya saya harus mau tidak mau menerima pekerjaan
untuk meliput di luar kota, di tambah lagi kerjaan yang asya emban punya resiko
tinggi. Mereka menganggap bahwa saya nggak bakal mampu menjalani ini, karna
saya perempuan, saya lemah. Sebaiknya saya di rumah saja mengurus keluarga.
Tapi saya mencoba untuk meyakinkan mereka. Ya, akhirnya bisa kamu lihat
sekarang.”
“Eh udah adzan maghrib. Kita ambil wudlu
bareng ya.”
Kami berdua segera mengemas barang-barang yang masih berserakan di
sekitar tempat duduk kami. Selanjutnya kami mengambil wudlu bersama dan
melaksanakan ibadah shalat maghrib berjamaah di masjid yang letaknya tidak jauh
dari titik lokasi demo.
Hari ini sungguh meneyenangkan. Banyak
pelajaran yang bisa aku ambil dari mbak Karina. Bagaimana caranya ia
mengahadapi keraguan keluarganya yang menganggap bahwa ia tidak mungkin bisa
jadi jurnalis dengan meliput aksi-aksi yang bahaya, juga ketakutan keluarga
yang menganggap mbak Karina tidak bisa mengurus keluarga apabila ia diminta
kerja di luar kota. Termasuk keberanian menghadapi bahaya-bahaya yang akan ia
hadapi selama meliput. Usia tak menjadi alasan ia berhenti mengasah
keberaniannya. Seperti apa yang aku lihat tadi sore adalah bukti bahwa mbak
Karina adalah perempuan hebat. Perempuan
yang mampu mengayomi keluarga dengan baik, sekaligus pekerja keras yang tak
pernah kenal takut dan lelah.
***
Sehari setelah demo, ibu menelponku
mengabarkan bahwa Arul, saudara saya satu-satunya sedang demam tinggi. Terpaksa
hari ini saya harus pulang terlebih dahulu. Menggantikan posisi ibu untuk
menjaga adiku yang tidak mungkin di tinggal seorang diri. Sedangkan ibuku,
harus mengajar di sekolah PAUD tak jauh dari rumahku. Ibuku juga membuka jasa
katering untuk menambah pemasukan karna ibu menggantikan posisi ayahku menjadi
tulang punggung kelurga setelah kepergiannya ke pangkuan sang khalik ketika
adiku baru berusia 5 bulan. Selain itu, ibu juga membuka bimbingan belajar di
rumah untuk membantu anak-anak disekitar rumah yang memiliki kesulitan belajar
mandiri tanpa dipungut biaya.
Dari kecil aku sudah diajarkan mandiri
oleh ayah dan ibu. Bahkan ketika aku masih sekolah PAUD, aku harus membantu
menjual ikan hasil tangkapan ayahku yang berprofesi sebagai seorang nelayan.
Semangat itu terus berkobar, terutama setelah ayah pergi. Aku membantu ibuku
mengemas makanan ringan di industri rumahan dekat rumah sedari aku duduk di ekolah dasar. Kepergian
ayah sangat terasa, terutama bagi ibu. Ia harus menggantikan figur ayah. Mencari
nafkah, membesarkan aku dan adiku seorang diri, dan sibuk mengurus ini itu yang
sewajarnya dilakukan oleh seorang ayah.
“Assalaamualaikum bu” Aku mengucapakan
salam ketika baru tiba di rumah.
“Assaalamualaikum bu.” Masih belum ada
yang menjawab.
“Assalaamualikum, Nadine pulang bu. Ibu
di dalam?”
“Adik, kamu di di dalam dik?”
Pintu rumah dikunci, begitu juga dengan
jendela rumah yang dikunci. Rumah terlihat sangat sepi, seperti tidak ada orang
di dalam.
“Assalaamualikum” Suara dari belakang
mnegagetkanku yang celingukan di jendela memastikan keadaan di dalam rumah. Aku
sangat akrab dengan suara itu. Iya, itu suara ibu.
Dan benar saja, ada ibu dan adik yang
baru saja keluar rumah. Tapi..
“Waa… waalaikumsalam. Adik kamu kenapa?”
Aku terkejut melihat adik dengan setelan baju khas orang sakit. Wajahnya tampak
sangat pucat, bibirnya sudah biru tua. Aku mulai panik dengan keadaan adik.
“Adik tidak apa-apa kok. Barusan ibu dan
adik dari klinik, memeriksakan adik kamu. Adik tidak apa-apa Cuma butuh
istirahat yang banyak.” Jawab ibu dengan wajah sendu. Seperti ada yang
ditutupi.
“Oh iya. Nadine udah lama? Tumben
pulang, bukannya waktu pulang masih seminggu lagi?” Tanya ibu yang ingin
mengalihkan pembicaraan.
“Baru sampai bu. Nadine kangen ibu dan
adik.”
“Adik kamu beneran tidak apa-apa?” Aku
mencoba mendekat adiku yang menutup tubuhnya dengan jaket. Aku menyentuh
dahinya, memastikan bahwa suhu tubuhnya tidak terlalu tinggi. Tapi aku salah,
justru suhunya sangat tinggi. Itu sebabnya kenapa adik terlihat sangat pucat
dan menggigil padahal cuaca di rumah sangat panas.
“Ibu bohong. Sebenarnya adik sakit apa
bu?” Jawabku dengan nada sedikit tinggi. Sebagai tanda bahwa aku ingin tahu apa
yang sebenrnya terjadi dengan adiku.
“Adik di diagnos tifus dan harus
menjalani rawat inap. Tapi ibu tidak punya cukup biaya. Yasudah akhirnya ibu
memilih agar adik di rawat di rumah.” Jawab ibu menitikan air mata.
Sebenarnya aku tidak tega melihat ibu
menangis. Ia sudah susah payah mencari nafkah, tapi itu belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan kami. Apalagi situasi seperti saat ini, ia pasti terpukul.
Satu sisi ia harus mengobati adik yang sedang sakit, tapi di sisi lain ia juga
tak tak bisa memilih untuk menjalani rawat inap karna memang tidak ada biaya.
“Astaga ibu, kenapa nggak bilang sama
Nadine?” Tanyaku sambil memeluk ibu.
“sudah lah nak. Kamu fokus kuliah yang
benar. Ini tanggung jawab ibu, biar ibu yang menanggung.”
“Ibu tenang saja.” Aku melepas pelukan
ibu dan segera mengambil amplop di dalam tas ranselku.
“Ini bu.” Aku menyodorkan amplop bewarna
kepada ibu
“Apa ini?” Tanya ibu terheran-heran.
“Sedikit uang barangkali bisa membantu
membayar baiya penginapan adik selama di rawat.”
“Enggak nak.” Ibu mengembalikan amplop
kepadaku.
“Ini uangmu, hasil kerjamu untuk biaya
kuliah. Sudah, urusan adik biar ibu saja memikirkan. Ini simpan lagi.”
“Ini ibu ambil” Menyodorkan amplop ke
ibu
“3 hari sebelum Nadine demo kemarin,
Nadine ikut lomba inovasi teknologi untuk meningkatkan perekonomian. Mungkin
ini terdengar aneh buat ibu. Menurut ibu ini bersebarangan dengan jurusan
Nadine. Tapi Nadine sering ikut pelatihan inovasi teknologi. Ketika mengetahui
ada lomba ini, Nadine langsung berkolaborasi dengan teman-teman dari jurusan IT
dan ilmu ekonomi. Alhammdulillah bu kami menang. Dan ini adalah hasil yang kami
dapatkan kemarin.”
“Tapi nak” Ibu mencoba menyangkal
penjelasanku.
“Sudahlah bu. Nadine masih ada banyak
proyek.” Aku mencoba menenangkan ibu agar mau menerima uang pemberianku.
“Oh iya. Mending kita sekarang siap-siap
terus kita ke klinik.” Ujarku semangat
“Terima kasih ya nak.”
“Terima kasih ya kak.”
Kami bertiga berpelukan di teras rumah.
Momen seperti ini menjadi momen terbaik kami. Meskipun hidup sederhana kami
merasa sangat kaya dimana setiap masalah yang kami hadapi selalu terselesaikan dengan meminggirkan ego
masing-masing.
Beginilah hidup tanpa kehadiran sosok
ayah. Kami terpaksa saling membantu dalam hal apapun, termasuk finansial. Pekerjaan ibu sebagai guru PAUD dengan
bayaran yang tidak seberapa terkadang belum bisa mencukupi kebutuhan kami. Itu
sebabnya mengapa saya sangat berambisi untuk sesering mungkin mengikuti lomba,
karna hasilnya bisa aku tabung untuk membayar uang kuliah dan keperluan kuliah
yang lain.
***
Aku senang dengan apa yang aku jalani
saat ini, meskipun cukup melelahkan dan tidak menghasilkan uang. Tapi paling
tidak aku bisa melakukan seuatu yang bevmanfaat bagi ornag lain. Memang benar,
demo hanya bikin jalan jadi macet, bikin rusuh, fasilitas banyak yang ruak.
Tapi, tidak semua demo berakhir dengan kerusuhan. Beberapa aksi solidaritas
yang aku ikuti selalu berjalan damai. Bahkan banyak orang yang tertarik
mengikuti kegiatan rutin kami setelah melihat aksi kami. Satu kebanggaan buat
saya pribadi mampu mengajak orang lain untuk mampu berpikir lebih kritis dalam
mengahadapi tantangan zaman yang semakin sulit.
Kesibukan di kampus dan forum pergerakan
kerap kali membuatku penat dibuatnya. Untung saja aku punya teman-teman hebat
di rumah nyaman. Ya, mereka adalah teman-teman yang aku temui di jalanan.
Mereka berlatar belakang anak autis, orang jalanan, gelandangan, pengemis,
disabilitas, dan anak-anak yang terpaksa putus sekolah karna tidak memiliki
biaya. Berawal dari ketertarikanku melihat ibu yang ikhlas membantu memberikan
bimbingan belajar gratis di rumah, akhirnya aku tertarik melakukan hal yang
sama di tempat aku mengenyam pendidikan.
Awalnya kita menentukan waktu untuk bisa
ketemu bareng di satu tempat yang sama, karna memang waktu itu kita tidak
memiliki tempat untuk singgah. Kita bertemu tanpa saling bertukar kabar satu
sama lain, karna memang teman-teman banyak yang tidak punya handphone. Hingga
akhirnya teman-teman sekarang bisa bersama-sama setiap hari tanpa harus
ketakutan di kejar-kejar petugas. Rumah nyaman berdiri atas kerja keras
teman-teman dan donatur yang berkenan membantu kami.
Pagi itu, handphone berdering
berkali-kali. Ketika aku lihat, banyak suara masuk dari nomor yang nggak aku
kenal. Handphone kembali bergetar ketika aku buru-buru menyelesaikan tulisanku
yang mau di terbitkan.
“Assalaamualaikum mbak Nadine.” Sambung
suara di sebrang.
“Waalaikumsalam. Dengan saya sendiri,
maaf ini dengan siapa?” Tanyaku dengan tetap melanjutkan projeku.
“Saya Aqila mbak. Saya mau konsultasi
sama mbak Nadine.”
Aku kuliah di jurusan
pendidikan bahasa Indonesia,
tapi bukan berarti aku hanya bisa melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan bahasa. Aku membuka jasa mentoring untuk memberikan wadah
buat orang-orang yang sedang membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah atau
membutuhkan bantuan moral untuk mengembalikan semangat dan rasa percaya diri.
Aku termasuk orang yang peduli dengan kesehatan mental, maka dari itu aku
membuka layanan ini. Meskispun tidak bisa membantu untuk menyembuhkan, paling
tidak aku bisa membantu memotivasi mereka.
“Baik Aqila, apa yang kamu keluhkan?”
Tanyaku kepada orang yang akan menggunakan jasaku.
“Saya lagi ada di fase sangat krisis
mbak. Saya bingung harus berbuat apa. Saya butuh pencerahan dari mbak Nadine
karna saya merasa dirugikan. saya sering kehilangan fokus, akibatnya saya tidak
bisa produktif.”
“Baik saya mengerti maksud kamu. Besok
kita ketemu untuk membicarakan ini lebih lanjut. Sekarang saya masih ada di
rumah.”
***
Pagi-pagi buta aku harus bergegas
berangkat ke menuju stasiun agar tidak terlewat kereta yang menuju ke kampus.
“Nadnine, hati-hati ya. Jaga kesehatan
kamu. Ibu tau kamu melakukan ini agar kamu bisa membayar uang kuliah, tapi kamu
nggak boleh menyakiti diri kamu sendiri.” Petuah ibu kepadaku yang merapikan
keperluan yang harus aku bawah sebelum berangkat menuju stasiun.
“Iya bu. Ibu nggak usah khawatir lagi
ya. Nadine pasti baik-baik saja kok.” Jawabku sambil menatap mata ibu
lekat-lekat untuk meyakinkan ibu agar tidak terlalu memikirkanku.
“Yasudah. Kamu berangkat diantar mang
Parno ya nak.” Ujar ibu sambil membawa tasku ke depan rumah.
“Oh iya bu, Nadine hampir saja lupa.”
“Kenapa? Ada yang ketinggalan?”
“Hehe tidak ibu. Nadine mau bilang bahwa
Nadine mau aksi lagi buat ngangkat isu keadilan gender. Semalam Nadine dan
teman-teman mengadakan rapat virtual dan akhirnya kami sepakat untuk mengangkat
isu ini. Nggak papa kan bu? hehe. Kan ibu sendiri yang bilang kalau perempuan
harus dilindungi, di hormati, dan di istimewakan. Jangan mentang-mentang
perempuan lemah lantas mudah di diskriminasi, di sudutkan, apalagi di
rendahkan. Nah sekarang Nadine dan teman-teman ingin mengangkat isu ini agar
perempuan tidak lagi jadi bahan mainan.”
“Baiklah nak kalau mau kamu seperti itu.
Tapi ingat pesan ibu, tetap hati-hati.”
“Siap bu. Nadine berangkat dulu ya.
Assalaamualikum.”
Comments
Post a Comment